Ngebahas
masalah investasi ini, gue sempat ngerasa nyesel. Why? Because I just realized
how important this matter after 30-something. Sebelumnya, bisa dibilang duit
gue gampang ngacir buat beli elektronik dan gadget. Ya maklumlah, hobby susah
ditinggalkan. Apalagi kalau udah kerja dan menghasilkan duit sendiri, rasanya
kek ada excuse yang mengamini: “Ah masa kerja susah-susah ga bisa dinikmati?”
hahaha… (Such a klise).
Anyway,
untuk soal travelling sih gue ga pernah nyesel. Never-ever. Soalnya travelling
itu in the other side adalah
experience, and experience is something
precious. So I won’t mind for that.
Back to invest
question. Basically, after 30-something gue baru ngerasa, gile gue kerja sekian
lama dapat apa sih? Something yang bisa gue pake atau nantinya yang anak gue
bisa nikmati? So far, yang gue punya cuma tabungan, dan asuransi. Asuransi juga
ga seberapa, paling-paling kalo gue ga ada, anak gue cuma dapet ratusan juta.
Buat bayar kuliah juga lenyap itu ya, tapi apa iya mo dapet duit harus nunggu
gue ga ada? Sementara you knowlah, laki gue lebih focus ke kinian
(today-today-today) daripada mikir : what we have in the next 10 years? Masa
sih lu mau banggain beli mobil a-z tapi dana anak belum lo pikirin dari
sekarang? Ridiculous, isn’t it?
But after
struggling with my own self-consciousness, I decide in last year, gue bakalan
ikutan reksadana aja. Hal ini juga didorong oleh gue punya temen yang jago
bingits main saham. She’s awesome! So that moment she advise me, untuk rencana
jangka panjang, for example like school fees, or medical, which is maybe my
daughter need in another 5 years, I could invest on mutual funds. Nah, dia
suggest gue, kalo mau jangka panjang, gue harus ambil yang aman aja, naik, tapi
ga progresif. Jadi model combine lah dengan pendapatan tetap, ga sepenuhnya
saham. Kalo cece gue suruh beli Schroders, tapi karena beli ini harus ke cabang
Bank Mandiri utama (or Commonwealth Bank, cmiiw), gue gak sempat. Jadi gue
ngikutin temen aja, di SAM (Samuel Asset Management). Gue ambil yang SAM
Indonesia Equity Fund dan SAM Syariah Berimbang.
Problemnya
adalah, gue masih terlalu oon buat ngikutin: kapan gue harus top up?
Jadi gue harus sering Tanya dengan temen gue yang cerdas cadas ini, gue bilang kalau
lu mau top up, kabari gue ya. Hahaha… tapi lama-lama gue juga penasaran
sebenernya, how to knowing when the right time to top up? Dia ajarin gue supaya
download aplikasi Bloomberg di smartphone, karena dari situ bisa dipantau
naik-turunnya. Good idea lah. Gue saat ini lagi mencoba, lumayan kalau bisa
dalam 5 tahun menghasilkan duit buat anak gue sekolah.
Nah selain
itu, gue juga investasi manual (maksudnya ga melibatkan saham), yaitu logam
mulia. Ini udah paling aman dan gampang. Tinggal nitip cece ke Antam atau gedung
Logam Mulia (Pulogadung) udah deh, tapi ya teteup sih, nitip juga
ujung-ujungnya. Maklumlah, gue tinggal di desa, jauh mau kemana-mana… *curcol
mode.
Harapan
gue sih, setidaknya nanti saat anak gue perlu duit, gue masih bisa kasih dia
sesuatu lah. Jangan sampai nih, sebagai orang tua saat ada duit justru
diabis-abisin demi kesenangan sendiri. Ga mikirin kalau dunia itu berputar,
kadang diatas-kadang dibawah.
Gue ada
cerita soalnya, sebuah keluarga yang awalnya ga punya, tiba-tiba karena lahan
basah suddenly punya duit banyak. Sebagai kepala keluarga yang melarang
istrinya bekerja (katanya kalau istri bekerja gak menghormati suami – alasan klise
karena ego), cuma dia seorang yang menghasilkan duit. But instead on focusing
their children’s future. Ini malah duit dihabis-habiskan hanya untuk gonta
ganti mobil. Kebayang ga, pada jamannya, duitnya banyak bukan diinvestasikan ke
property, atau sesuatu yang berharga di masa depan, malah dihabiskan dengan
ngejar gengsi. Mungkin disitulah peran penting edukasi ya? Intinya setelah dia
ga ada, yang tersisa cuma rumah di pinggiran kota yang butuh banyak renovasi,
istri yang hanya ngarep uang pensiunan suami yang ga ada, dan 2 anak yang mau ga
mau harus mulai dari 0 untuk for example : beli rumah saat nikah. Padahal
seandainya sang suami dulu berpikir: family comes first. Pasti saat dia punya
uang banyak, dibelikan anaknya rumah satu-satu. Setelah dia ngga ada, ya udah
terserah anaknya mau ditempati atau dijual. Yang jelas kalau dulu (tahun 90-an)
beli rumah 100 juta, bisa dipastikan tahun sekarang mungkin bisa mencapai 1M
bahkan lebih (tergantung lokasi).
Dari case
itu, gue belajar bahwa kebahagiaan sesaat, dalam case ini adalah gonta-ganti mobil
untuk kepuasan pribadi dan mengejar gengsi (karena sebelumnya dianggap keluarga
yang kurang mampu dibandingkan saudara yang lain), tidak akan menghasilkan
sesuatu yang berguna di kemudian hari. You know what, seorang anak itu
mencontoh orang tuanya. Kalau saat itu, ada ketegasan bahwa investasi itu
penting, gue rasa anak-anak pasti ngikutin. Mana mungkin seorang anak umur
belasan tahun mengerti apa yang dibutuhkan dia 10-20 tahun kemudian? Pastilah
apa yang dilakukan orang tuanya (saat itu) dianggap yang paling the best.
Itulah penyebab kesesatan pikiran dari anak-anaknya. Karena didikan itu
(menghabiskan uang untuk terlihat “wah”) dianggap “membahagiakan keluarga”,
kalau saat ini dibilang “salah didikan” pasti ngga akan terima. Karena mereka
mikirnya: “Gue saat itu happy, kenapa lo sirik?” Meskipun sekarang berakhir dengan have nothing. Padahal dia mungkin
ga mikir, seandainya mereka dibelikan rumah, pasti saat ini yang dipikir
adalah: “Syukurlah, bokap gue dulu pinter banget” See? Everybody’s happy in the
next 10-20 years, hanya dengan keputusan bahwa Investasi itu penting sejak dini.
Mengikuti gengsi
supaya dianggap “wah” itu ga ada gunanya by the end of the day, kenapa? Karena yang
menikmati hanya dia dan keluarganya saat itu. Ingat “saat itu”. Karena saat ini, mereka ga menyisakan apa-apa lagi
selain kenangan. Sementara anak-anak tersebut pada akhirnya akan punya
keluarga, tapi secara masa depan, orang tua tersebut justru memaksa
anak-anaknya bekerja lebih keras. Padahal sebagai orang tua normal, seharusnya
lebih memikirkan kebahagiaan anak jangka panjang, bukan hanya 1-5 tahun saat
uang ada. Lebih buruknya, anak-anak sudah ter-brain wash bahwa style mengejar gengsi itu perlu
dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dari orang, sehingga mereka akan membawa
keluarga baru mereka dengan style pamer uang (kalau ada) dan hidup dengan omong
besar. Lebih besar pasak daripada tiang. Ketakutan kalau dinilai orang lain
bukan orang kaya, dan berakting seperti (masih) jadi orang kaya walaupun duit
pas-pasan. Soal masa depan keluarganya urusan nanti, yang penting keliatan
(seperti) orang kaya. Kasihan istri dan anak, hidup dengan rasa was-was,
terjamin atau tidak hidupnya, tidak dipedulikan. Yang penting duit buat hobby
dan gaya-gaya-an ada. Hobby mau gonta-ganti mobil karena merk, bukan karena
fungsi. Padahal duit belum turah-turah (duit
banyak nganggur) tapi udah mau ini-itu.
Wah didikan
keluarga begini memang hanya meninggalkan problem lebih besar saja ke orang
lain. Double troubles!
No comments:
Post a Comment