April 3, 2016

Investasi, perlu banget ngga sih?

Ngebahas masalah investasi ini, gue sempat ngerasa nyesel. Why? Because I just realized how important this matter after 30-something. Sebelumnya, bisa dibilang duit gue gampang ngacir buat beli elektronik dan gadget. Ya maklumlah, hobby susah ditinggalkan. Apalagi kalau udah kerja dan menghasilkan duit sendiri, rasanya kek ada excuse yang mengamini: “Ah masa kerja susah-susah ga bisa dinikmati?” hahaha… (Such a klise).
Anyway, untuk soal travelling sih gue ga pernah nyesel. Never-ever. Soalnya travelling itu in the other side adalah experience, and experience is something precious. So I won’t mind for that.

Back to invest question. Basically, after 30-something gue baru ngerasa, gile gue kerja sekian lama dapat apa sih? Something yang bisa gue pake atau nantinya yang anak gue bisa nikmati? So far, yang gue punya cuma tabungan, dan asuransi. Asuransi juga ga seberapa, paling-paling kalo gue ga ada, anak gue cuma dapet ratusan juta. Buat bayar kuliah juga lenyap itu ya, tapi apa iya mo dapet duit harus nunggu gue ga ada? Sementara you knowlah, laki gue lebih focus ke kinian (today-today-today) daripada mikir : what we have in the next 10 years? Masa sih lu mau banggain beli mobil a-z tapi dana anak belum lo pikirin dari sekarang? Ridiculous, isn’t it?

But after struggling with my own self-consciousness, I decide in last year, gue bakalan ikutan reksadana aja. Hal ini juga didorong oleh gue punya temen yang jago bingits main saham. She’s awesome! So that moment she advise me, untuk rencana jangka panjang, for example like school fees, or medical, which is maybe my daughter need in another 5 years, I could invest on mutual funds. Nah, dia suggest gue, kalo mau jangka panjang, gue harus ambil yang aman aja, naik, tapi ga progresif. Jadi model combine lah dengan pendapatan tetap, ga sepenuhnya saham. Kalo cece gue suruh beli Schroders, tapi karena beli ini harus ke cabang Bank Mandiri utama (or Commonwealth Bank, cmiiw), gue gak sempat. Jadi gue ngikutin temen aja, di SAM (Samuel Asset Management). Gue ambil yang SAM Indonesia Equity Fund dan SAM Syariah Berimbang.

Problemnya adalah, gue masih terlalu oon buat ngikutin: kapan gue harus top up? Jadi gue harus sering Tanya dengan temen gue yang cerdas cadas ini, gue bilang kalau lu mau top up, kabari gue ya. Hahaha… tapi lama-lama gue juga penasaran sebenernya, how to knowing when the right time to top up? Dia ajarin gue supaya download aplikasi Bloomberg di smartphone, karena dari situ bisa dipantau naik-turunnya. Good idea lah. Gue saat ini lagi mencoba, lumayan kalau bisa dalam 5 tahun menghasilkan duit buat anak gue sekolah.
Nah selain itu, gue juga investasi manual (maksudnya ga melibatkan saham), yaitu logam mulia. Ini udah paling aman dan gampang. Tinggal nitip cece ke Antam atau gedung Logam Mulia (Pulogadung) udah deh, tapi ya teteup sih, nitip juga ujung-ujungnya. Maklumlah, gue tinggal di desa, jauh mau kemana-mana… *curcol mode.

Harapan gue sih, setidaknya nanti saat anak gue perlu duit, gue masih bisa kasih dia sesuatu lah. Jangan sampai nih, sebagai orang tua saat ada duit justru diabis-abisin demi kesenangan sendiri. Ga mikirin kalau dunia itu berputar, kadang diatas-kadang dibawah.
Gue ada cerita soalnya, sebuah keluarga yang awalnya ga punya, tiba-tiba karena lahan basah suddenly punya duit banyak. Sebagai kepala keluarga yang melarang istrinya bekerja (katanya kalau istri bekerja gak menghormati suami – alasan klise karena ego), cuma dia seorang yang menghasilkan duit. But instead on focusing their children’s future. Ini malah duit dihabis-habiskan hanya untuk gonta ganti mobil. Kebayang ga, pada jamannya, duitnya banyak bukan diinvestasikan ke property, atau sesuatu yang berharga di masa depan, malah dihabiskan dengan ngejar gengsi. Mungkin disitulah peran penting edukasi ya? Intinya setelah dia ga ada, yang tersisa cuma rumah di pinggiran kota yang butuh banyak renovasi, istri yang hanya ngarep uang pensiunan suami yang ga ada, dan 2 anak yang mau ga mau harus mulai dari 0 untuk for example : beli rumah saat nikah. Padahal seandainya sang suami dulu berpikir: family comes first. Pasti saat dia punya uang banyak, dibelikan anaknya rumah satu-satu. Setelah dia ngga ada, ya udah terserah anaknya mau ditempati atau dijual. Yang jelas kalau dulu (tahun 90-an) beli rumah 100 juta, bisa dipastikan tahun sekarang mungkin bisa mencapai 1M bahkan lebih (tergantung lokasi).

Dari case itu, gue belajar bahwa kebahagiaan sesaat, dalam case ini adalah gonta-ganti mobil untuk kepuasan pribadi dan mengejar gengsi (karena sebelumnya dianggap keluarga yang kurang mampu dibandingkan saudara yang lain), tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna di kemudian hari. You know what, seorang anak itu mencontoh orang tuanya. Kalau saat itu, ada ketegasan bahwa investasi itu penting, gue rasa anak-anak pasti ngikutin. Mana mungkin seorang anak umur belasan tahun mengerti apa yang dibutuhkan dia 10-20 tahun kemudian? Pastilah apa yang dilakukan orang tuanya (saat itu) dianggap yang paling the best. Itulah penyebab kesesatan pikiran dari anak-anaknya. Karena didikan itu (menghabiskan uang untuk terlihat “wah”) dianggap “membahagiakan keluarga”, kalau saat ini dibilang “salah didikan” pasti ngga akan terima. Karena mereka mikirnya: “Gue saat itu happy, kenapa lo sirik?” Meskipun sekarang berakhir dengan have nothing. Padahal dia mungkin ga mikir, seandainya mereka dibelikan rumah, pasti saat ini yang dipikir adalah: “Syukurlah, bokap gue dulu pinter banget” See? Everybody’s happy in the next 10-20 years, hanya dengan keputusan bahwa Investasi itu penting sejak dini.

Mengikuti gengsi supaya dianggap “wah” itu ga ada gunanya by the end of the day, kenapa? Karena yang menikmati hanya dia dan keluarganya saat itu. Ingat “saat itu”. Karena saat ini, mereka ga menyisakan apa-apa lagi selain kenangan. Sementara anak-anak tersebut pada akhirnya akan punya keluarga, tapi secara masa depan, orang tua tersebut justru memaksa anak-anaknya bekerja lebih keras. Padahal sebagai orang tua normal, seharusnya lebih memikirkan kebahagiaan anak jangka panjang, bukan hanya 1-5 tahun saat uang ada. Lebih buruknya, anak-anak sudah ter-brain wash bahwa style mengejar gengsi itu perlu dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dari orang, sehingga mereka akan membawa keluarga baru mereka dengan style pamer uang (kalau ada) dan hidup dengan omong besar. Lebih besar pasak daripada tiang. Ketakutan kalau dinilai orang lain bukan orang kaya, dan berakting seperti (masih) jadi orang kaya walaupun duit pas-pasan. Soal masa depan keluarganya urusan nanti, yang penting keliatan (seperti) orang kaya. Kasihan istri dan anak, hidup dengan rasa was-was, terjamin atau tidak hidupnya, tidak dipedulikan. Yang penting duit buat hobby dan gaya-gaya-an ada. Hobby mau gonta-ganti mobil karena merk, bukan karena fungsi. Padahal duit belum turah-turah (duit banyak nganggur) tapi udah mau ini-itu.


Wah didikan keluarga begini memang hanya meninggalkan problem lebih besar saja ke orang lain. Double troubles!        


No comments:

Post a Comment

My Newest Thought

Operasi Gigi Geraham Bungsu (Menggunakan BPJS 2020)

Hai semuanya, kali ini gue mau share tentang pengalaman gue operasi gigi geraham bungsu atas bawah, sebanyak 4 gigi. Yes, 4 gigi sekaligus! ...